Ada jam dinding berukir daun
hijau segar di gersangnya perumahan Nusantara. Ada persona di balik tiap-tiap
wajah kuli bangunan di depan halaman rumah tetangga. Ada tumpukan buku, yang
selalu berjanji bahwa libur telah tiada dan Senin akan segera tiba. Ayolah, apakah
tidak ada yang memberi angan bahwa Jum’at malam depan akan datang segera?
Ada keset. Yang tak luput dari
ironi toilet berdasi, tapi ditemani oleh dirinya yang ‘sepuluh ribu saja’.
Ada hal yang tak terucap, namun
tersirat, di tiap kalut sabut kelapanya. Entahlah. Membela ketertindasannya
sebagai yang berada? Meminta hak-hak yang tak pernah didapatkannya? Atau
mungkin hanya sekedar ingin berbangga karena mereka sedikit berguna bagi kita?
Satu hal yang tak pernah hadir
dalam eksistensinya: harapan, bahwa dia tak lagi menjadi yang ter(di)injak
sepatu merek apa saja, tak lagi yang tiap pagi menjilat tahi majikannya dan tiap senja menjilat tahi
kuda, tak lagi menjadi yang tiap sehari lima kali (sudah macam ibadah saja)
berdo’a agar sekali saja dia bisa merasakan bagaimana nikmatnya dicuci,
dijemur, disetrika, dan ditempatkan kembali dengan kondisi yang tidak terlalu
hina. Tapi, sudahlah, itu memang sudah kodratnya.
Ah, hampir
lupa. Ada kertas A3 cacat, tergulung kaku, di pojok bangku, terikat pita pemberianmu,
Merah Muda.
Untunglah. Ternyata ada.