Saturday, August 17, 2013

Ciye



Ada jam dinding berukir daun hijau segar di gersangnya perumahan Nusantara. Ada persona di balik tiap-tiap wajah kuli bangunan di depan halaman rumah tetangga. Ada tumpukan buku, yang selalu berjanji bahwa libur telah tiada dan Senin akan segera tiba. Ayolah, apakah tidak ada yang memberi angan bahwa Jum’at malam depan akan datang segera?

Ada keset. Yang tak luput dari ironi toilet berdasi, tapi ditemani oleh dirinya yang ‘sepuluh ribu saja’.

Ada hal yang tak terucap, namun tersirat, di tiap kalut sabut kelapanya. Entahlah. Membela ketertindasannya sebagai yang berada? Meminta hak-hak yang tak pernah didapatkannya? Atau mungkin hanya sekedar ingin berbangga karena mereka sedikit berguna bagi kita?

Satu hal yang tak pernah hadir dalam eksistensinya: harapan, bahwa dia tak lagi menjadi yang ter(di)injak sepatu merek apa saja, tak lagi yang tiap pagi menjilat  tahi majikannya dan tiap senja menjilat tahi kuda, tak lagi menjadi yang tiap sehari lima kali (sudah macam ibadah saja) berdo’a agar sekali saja dia bisa merasakan bagaimana nikmatnya dicuci, dijemur, disetrika, dan ditempatkan kembali dengan kondisi yang tidak terlalu hina. Tapi, sudahlah, itu memang sudah kodratnya.

Ah, hampir lupa. Ada kertas A3 cacat, tergulung kaku, di pojok bangku, terikat pita pemberianmu, Merah Muda.

Untunglah. Ternyata ada.

Gerakan Batu



Kamu orang paling ekspresif yang pernah saya kenal.

Hei sudah kubilang padamu: literatur itu seksi, lensa itu cantik, dan seni itu istriku! Jangan dekat-dekat dengan dia kalau tak ingin kutinju!