Thursday, June 13, 2013

Hidup dalam Esensi




“Hidup. Cape.”
Telingaku langsung dielus oleh suara parau; serak dan tidak jelas, baru saja setelah aku duduk di kursi kecil untuk satu orang yang tepat ada di belakang  jok supir dan di sebelah pintu angkot: dan memang selalu berada di situ.
“Emang Ibu jualan apa?” Bapak berkumis baplang dengan jaket kulit yang sepertinya tidak pernah dicuci berbulan-bulan itu kembali lagi bertanya kepada nenek tua di seberangnya.
“Lumpiah. Di sana.” dia mulai menunjuk-nunjuk ke arah luar jendela angkot, entah kemana.
“Tadi Ibu selesai jualan?”
“Engga. Tadi ada urusan di rumah ade.”
Kantung plastik berlogo ACE dan Griya dengan ukuran besar menemani paha besar nenek itu. Menjadi penjaga tak terlihat dan tak bernyawa. Perawakannya yang – bisa dibilang – sangat gemuk menjadi sebuah ironi tersendiri ketika dia merutuk tentang hidup yang melelahkan. Argumentasi abstrakku ini – yang tidak kusampaikan secara lisan, hanya kusimpan di pikiran – semakin dierkuat dengan bukti kongkret bahwa ada seorang nenek di luar angkot ini yang sedang bersandar pada Mobil Avanza silver yang diparkir tepat di bawah jembatan penyebrangan, di seberang Stadion Persib; rapuh dan dilupakan, berusaha bertahan hidup di bawah raungan ganas singa globalisasi Nusantara
Terbesit waktu itu sebuah ide untuk memotret nenek tua diluar angkot tadi dan memperlihatkannya ke nenek yang duduk di sebelah wanita manis berkerudung jingga dengan ciput hitam.
“Nek, punten, coba bersyukur sedikit, ya.” sembari aku memberikan hasil potretan itu.
Yah, tapi ide itu tak kuindahkan.
Pada 9 Oktober 1992, Peerskill, New York, sebuah meteor menabrak mobil berumur 12 tahun kepunyaan Michelle Knapp. Alih-alih harus membawa mobilnya ke tempat rongsokan, dia kegirangan ketika seorang kolektor membeli mobilnya seharga 10.000 dollar. Pun untuk metoritnya seharga 50.000 dollar.
Berita yang dimuat di Buku Ripley’s Believe It Or Not ini mengingatkanku pada satu hal; sederhana dan esensial: semua hal memiliki manfaatnya masing-masing. Jadi, kutarik saja manfaat dari keberadaan nenek itu di angkot ini. Setidaknya dialah yang membuat hidup angkot yang biasanya identik dengan suasana mati: hening tanpa kepedulian masing-masing penumpangnya.
“Habis kerja?” nenek tadi mulai menghidupkan kembali suasana angkot yang sempat hening di kemacetan perempatan Laswi – Ahmad Yani.
 “Habis kursus, Bu.” gadis manis berkerudung yang tadi kuceritakan menjawab dengan suara yang manis pula. Sebuah keharmonisan yang selalu kukagumi dari makhluk Tuhan bernama wanita.
 “Kursus apa?”
“Pajak, Bu.”
“Bagus, bagus. Pinter.” nenek itu mengacungkan jempol gemuknya untuk wanita di sebelahnya – si manis berkerudung jingga.
“Jalan Mangga di depan, Bu.” Bapak tadi menunjukkan pertigaan gelap dengan plang bertuliskan ‘Jalan Mangga’.
Kiri, Pak.”
Semua orang – termasuk diriku dan pengecualian untuk si supir – membantu nenek itu turun; membantunya berdiri, membawakan kantung plastik raksasanya, hingga membayarkan ongkos angkotnya.
“Ibu ga usah bayar, nanti saya yang bayar.” Bapak tadi dengan lembut menjabat tangan keriput nenek dengan baju hijau tebal berlengan setengahnya.
“Makasih Pak, makasih.”
Dari asumsiku, nenek itu akan pergi ke sebuah panti jompo di sekitar sana. Asumsi abstrakku (lagi) didukung dengan kata-kata nenek itu sebelumnya. “Kalau malem suka gak dibolehin masuk.”
Satu lagi hal implisit yang kupelajari dari nenek itu. Bahkan daun rapuh kecoklatan yang sudah hampir menyatu dengan tanah-lah yang akan menjadi pupuk bagi jabang pohon-pohon kokoh yang baru. Orang-orang yang sudah renta, merekalah yang malah kembali memasukkan sekrup-sekrup kemanusiaan yang sempat lepas sebelumnya.
Angkot kembali hening bersamaan dengan hilangnya nenek itu dimakan kegelapan Jalan Mangga. Hanya temaramnya lampu angkot yang bergemerisik membuat suara ilusi usil yang mengganggu semua penumpang.
Setelah 15 menit keheningan, di perempatan Jalan Jakarta, supir angkot di depanku melihat ke arah ban kiri depannya yang mulai terasa tak seimbang dengan ban-ban lainnya. “Punten, ban angkotnya bocor. Ngalih ke angkot belakang, ya.”
Aku orang pertama yang keluar dari angkot. Membayar 2000 rupiah untuk perjalanan dari Jalan Gudang Utara sampai Terusan Jalan Jakarta, lalu bergegas mencari angkot baru yang kosong.
Aku lihat wanita manis berkerudung jingga tadi berlalu melewati angkot kosong baru yang kunaiki. Begitu pula dengan ibu sipit dengan anaknya yang sipit pula yang membantu membawakan kantung kresek ACE nenek tadi.
Aneh, tidak ada yang mau naik angkot ini.
~~~~~
Sabtu, 1 Juni 2013

No comments:

Post a Comment