“Hidup. Cape.”
Telingaku
langsung dielus oleh suara parau; serak dan tidak jelas, baru saja setelah aku
duduk di kursi kecil untuk satu orang yang tepat ada di belakang jok supir dan di sebelah pintu angkot: dan
memang selalu berada di situ.
“Emang Ibu
jualan apa?” Bapak berkumis baplang dengan jaket kulit yang sepertinya tidak
pernah dicuci berbulan-bulan itu kembali lagi bertanya kepada nenek tua di
seberangnya.
“Lumpiah. Di
sana.” dia mulai menunjuk-nunjuk ke arah luar jendela angkot, entah kemana.
“Tadi Ibu
selesai jualan?”
“Engga. Tadi ada
urusan di rumah ade.”
Kantung
plastik berlogo ACE dan Griya dengan ukuran besar menemani paha besar nenek itu.
Menjadi penjaga tak terlihat dan tak bernyawa. Perawakannya yang – bisa
dibilang – sangat gemuk menjadi sebuah ironi tersendiri ketika dia merutuk
tentang hidup yang melelahkan. Argumentasi abstrakku ini – yang tidak
kusampaikan secara lisan, hanya kusimpan di pikiran – semakin dierkuat dengan
bukti kongkret bahwa ada seorang nenek di luar angkot ini yang sedang bersandar
pada Mobil Avanza silver yang diparkir tepat di bawah jembatan penyebrangan, di
seberang Stadion Persib; rapuh dan dilupakan, berusaha bertahan hidup di bawah
raungan ganas singa globalisasi Nusantara
Terbesit waktu
itu sebuah ide untuk memotret nenek tua diluar angkot tadi dan
memperlihatkannya ke nenek yang duduk di sebelah wanita manis berkerudung
jingga dengan ciput hitam.
“Nek, punten, coba bersyukur sedikit, ya.”
sembari aku memberikan hasil potretan itu.
Yah, tapi ide
itu tak kuindahkan.
Pada 9 Oktober 1992, Peerskill, New York,
sebuah meteor menabrak mobil berumur 12 tahun kepunyaan Michelle Knapp.
Alih-alih harus membawa mobilnya ke tempat rongsokan, dia kegirangan ketika
seorang kolektor membeli mobilnya seharga 10.000 dollar. Pun untuk metoritnya
seharga 50.000 dollar.
Berita yang
dimuat di Buku Ripley’s Believe It Or Not
ini mengingatkanku pada satu hal; sederhana dan esensial: semua hal
memiliki manfaatnya masing-masing. Jadi, kutarik saja manfaat dari keberadaan
nenek itu di angkot ini. Setidaknya dialah yang membuat hidup angkot yang
biasanya identik dengan suasana mati: hening tanpa kepedulian masing-masing
penumpangnya.
“Habis kerja?”
nenek tadi mulai menghidupkan kembali suasana angkot yang sempat hening di
kemacetan perempatan Laswi – Ahmad Yani.
“Habis
kursus, Bu.” gadis manis berkerudung yang tadi kuceritakan menjawab dengan
suara yang manis pula. Sebuah keharmonisan yang selalu kukagumi dari makhluk
Tuhan bernama wanita.
“Kursus apa?”
“Pajak, Bu.”
“Bagus, bagus.
Pinter.” nenek itu mengacungkan jempol gemuknya untuk wanita di sebelahnya – si
manis berkerudung jingga.
“Jalan Mangga
di depan, Bu.” Bapak tadi menunjukkan pertigaan gelap dengan plang bertuliskan
‘Jalan Mangga’.
“Kiri, Pak.”
Semua orang –
termasuk diriku dan pengecualian untuk si supir – membantu nenek itu turun;
membantunya berdiri, membawakan kantung plastik raksasanya, hingga membayarkan
ongkos angkotnya.
“Ibu ga usah
bayar, nanti saya yang bayar.” Bapak tadi dengan lembut menjabat tangan keriput
nenek dengan baju hijau tebal berlengan setengahnya.
“Makasih Pak,
makasih.”
Dari asumsiku,
nenek itu akan pergi ke sebuah panti jompo di sekitar sana. Asumsi abstrakku
(lagi) didukung dengan kata-kata nenek itu sebelumnya. “Kalau malem suka gak
dibolehin masuk.”
Satu lagi hal
implisit yang kupelajari dari nenek itu. Bahkan daun rapuh kecoklatan yang
sudah hampir menyatu dengan tanah-lah yang akan menjadi pupuk bagi jabang
pohon-pohon kokoh yang baru. Orang-orang yang sudah renta, merekalah yang malah
kembali memasukkan sekrup-sekrup kemanusiaan yang sempat lepas sebelumnya.
Angkot kembali
hening bersamaan dengan hilangnya nenek itu dimakan kegelapan Jalan Mangga.
Hanya temaramnya lampu angkot yang bergemerisik membuat suara ilusi usil yang
mengganggu semua penumpang.
Setelah 15
menit keheningan, di perempatan Jalan Jakarta, supir angkot di depanku melihat
ke arah ban kiri depannya yang mulai terasa tak seimbang dengan ban-ban
lainnya. “Punten, ban angkotnya
bocor. Ngalih ke angkot belakang,
ya.”
Aku orang
pertama yang keluar dari angkot. Membayar 2000 rupiah untuk perjalanan dari
Jalan Gudang Utara sampai Terusan Jalan Jakarta, lalu bergegas mencari angkot
baru yang kosong.
Aku lihat
wanita manis berkerudung jingga tadi berlalu melewati angkot kosong baru yang
kunaiki. Begitu pula dengan ibu sipit dengan anaknya yang sipit pula yang membantu
membawakan kantung kresek ACE nenek tadi.
Aneh, tidak
ada yang mau naik angkot ini.
~~~~~
Sabtu, 1 Juni 2013
No comments:
Post a Comment