Berulang, ketika mereka berjejak
bersama, menatap Sang Maestro-Musik-Kosong, Dia meludahi dahi mereka satu
persatu. Lalu, ketika mereka merayap menuju paha-paha Sang Maestro itu, kembali,
sayap-sayap parangnya menembus menjilat jantung tiap-tiap dari mereka.
Kelaparan mereka dengan musik tanpa suara, lukisan tanpa warna, bahkan bahasa
dansa tanpa garit-Nya, telah membusa, menetes, dan mengotori ubin granit hitam
di telapak-telapak hina mereka. Bukan sebuah kepuasan Ordo ‘Dalam Biji
Mata-Nya’ itu. Namun, hanya sekedar puntung cerutu yang sudah dihisap
habis-habis sampai hanya bungkusnya saja yang tersisa: mereka hidup di antara
kita; mungkin kau salah satunya?
No comments:
Post a Comment